Tajikistan, Kirgiztan, dan Turkmenistan, apa yang ada di benak kalian ketika mendengar nama-nama negara bekas Uni Soviet tersebut ?, mungkin bagi kita negara itu terdengar asing dan kurang familier. Asia Tengah bagi kita orang Indonesia, walaupun secara jarak lebih dekat daripada Eropa atau Amerika, gaungnya masih kurang kita dengar.
Diantara negara-negara "Stan" di Asia Tengah, Kazakhstan dan Uzbekistan mungkin yang paling kita kenal saat ini. Yang satu terkenal akan kemajuan teknologi dan kekayaan minyaknya, sedangkan yang satunya lagi terkenal akan wisata eksotisnya di kota-kota peninggalan jalur sutra.
Dengan keterasingannya itu, Agustinus Wibowo, sang penulis , malah tertantang untuk menyibak tirai misteri yang selama ini menutupi wilayah tersebut. Mempertanyakan takdir manusia yang harus terpisah dalam kotak-kotak garis batas.
Apakah kemilau jalur sutra masih terasa di sana?, bagaimana kehidupan setelah jatuhnya Uni Soviet?, daripada penasaran, langsung saja kita mulai ulasannya.
***
- Judul : Garis Batas, Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
- Tahun terbit : 2011
- Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
- Halaman : 510 halaman
- Penulis : Agustinus Wibowo
- Harga : Rp 202.000
# SINOPSIS
Berawal dari pengalamannya sebagai jurnalis di Afghanistan, Agustinus berpetualang ke berbagai pelosok negeri Afghan hingga dia sampai di garis batas antara Afghanistan dan Tajikistan. Di sana dia melihat bagaimana 2 negeri yang walau hanya terpisah oleh sebuah sungai, bisa mengalami kehidupan zaman yang berbeda 100 tahun.
Negeri apa yang ada di seberang sungai sana?, penduduk Afghan selalu memandang dengan penasaran negeri asing tetangga mereka yang hanya selebar sungai jauhnya. Mereka memandang sebuah negeri modern dimana mobil-mobil melaju di jalan aspal, sedangkan mereka sendiri tak pernah menikmati rasanya duduk di dalam mobil. Mereka memandang gadis-gadis dengan rambut bebas tergerai tertawa riang, sementara kaum perempuan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas berpergian. Alangkah indahnya negeri seberang, walau bagi mereka, semua itu hanyalah fantasi.
Fantasi yang sama membuat Agustinus bersemangat untuk menembus garis batas itu, garis batas yang memisahkan manusia-manusia yang tinggal didalamnya. Mendengarkan kisah dan tangis pilu mereka yang ternyata tak seindah fantasi.
# SAMPUL
Sampul bagian depan didominasi warna hitam dan dilengkapi sebuah foto bangunan yang Agustinus ambil ketika dia berada di Asia Tengah, tepatnya di Uzbekistan. Pada foto itu terdapat bangunan khas peninggalan jalur sutra yang terkenal akan kemegahan dan keindahannya, dilengkapi siluet seorang manusia.
Sampulnya sendiri seperti menggambarkan negeri apa yang selama ini ada di balik garis batas tersebut. Bangunan megah yang menggambarkan kegemilangan peradaban jalur sutra, tetapi dominasi warna hitam seperti menggambarkan negeri itu kini tak memiliki kisah dan kemilau seindah masa lalu. Siluet seorang manusia menggambarkan negeri-negeri itu kini berusaha mencari jati dirinya diantara gelap dan terang yang ada.
# ISI
Pada bagian awal, terdapat prolog yang merupakan gambaran awal buku, lalu buku ini terbagi dalam 5 bab yang mewakili jumlah negeri-negeri yang ada di Asia Tengah, Tajikistan, Kirgiztan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan yang terakhir Turkmenistan, masing-masing memiliki kisahnya tersendiri dengan segala pahit manisnya. Dan di akhir buku, terdapat epilog tentang manifestasi yang Agustinus dapat setelah dia menjelajahi Asia Tengah.
Pada bagian prolog terdapat tulisan dengan judul "Negeri Seberang Sungai" yang merupakan pikiran sang penulis tentang Amu Darya, sebuah sungai yang menjadi garis batas antara negeri Afghan dengan negeri-negeri di Asia Tengah. Dia mempertanyakan bagaimana sebuah sungai yang kelihatannya indah dan tenang ini bisa memisahkan nasib dan takdir manusia-manusia yang hidup di dalamnya.
Bab pertama menceritakan pengalaman Agustinus ketika dia berada di Tajikistan, negara yang baru merdeka tahun 1991 ini di huni oleh mayoritas etnis Tajik. Bahasa yang mereka gunakan masih berkerabat dekat dengan bahasa Persia/Farsi yang dipakai di Iran, bedanya bahasa Tajik ditulis menggunakan huruf Sirilik, sedangkan bahasa Persia/Farsi ditulis menggunakan huruf Arab. Negeri ini bisa dibilang tanah fantasi bagi orang Afghan di seberang garis batas sana, walaupun pada kenyataannya kehidupan di negeri ini juga tidak lebih baik. Sejak merdeka 28 tahun lalu , Tajikistan masih tertatih-tatih dalam membangun negaranya, rakyatnya masih banyak yang berada di garis kemiskinan, bahkan banyak dari mereka yang merindukan zaman Uni Soviet. Diceritakan di buku bahwa kata favorit penduduk di sana dalam menggambarkan hidupnya adalah qiyin dan bichara, yang berarti susah dan malang.
Di bab kedua, Agustinus berpetualang ke utara menuju negara tetangga Tajikistan, yaitu Kirgiztan. Negeri ini dihuni oleh mayoritas etnis Kirgiz yang dulunya merupakan kaum nomaden penghuni gunung-gunung di Asia Tengah sebelum akhirnya di rumahkan oleh penguasa Soviet. Sama halnya dengan Tajikistan, negara ini masih rapuh dalam hal membangun perekonomiannya. Agustinus pernah terdampar di Karakol, sebuah kota di Kirgiztan yang terkenal akan banyaknya pemabuk, penjahat dan penganggur, sehingga kota itu bagaikan kota hantu di malam hari karena tingginya tingkat kriminalitas. Pertikaian antar etnis juga sering terjadi di Kirgiztan, seperti yang terjadi di kota Osh pada tahun 1990 antara etnis Kirgiz dan Uzbek. Pertikaian yang terjadi sering dikarenakan adanya rasa cemburu dan iri di antara etnis-etnis yang ada, terutama ketika etnis yang satu mendapat keistimewaan dibanding etnis yang lain.
Berlanjut di bab ketiga, Agustinus melanjutkan perjalanannya sampai ke Kazakhstan. Tidak seperti negara tetangganya yang dilanda krisis ekonomi, negeri ini dibanjiri kemewahan dan kemakmuran karena kekayaan minyak dan gas alamnya. Walaupun berlimpah kekayaan, hal ini tidak serta merta dimiliki oleh semua penduduknya, hanya kaum borjuis yang bisa menikmati kekayaan tersebut. Hal ini mengakibatkan jurang yang sangat besar antara si kaya dan si miskin di Kazakhstan. Selain itu, derasnya arus modernitas yang menghampiri negeri kaum nomaden ini mengakibatkan negeri ini dilanda krisis identitas, terutama dikalangan anak mudanya. Pengaruh Rusia sangat kental di negeri ini sehingga banyak orang Kazakh yang justru bangga bisa bertingkah seperti orang Rusia dan berbahasa Rusia daripada melestarikan budaya mereka sendiri. Kekayaan Kazakhstan itu sedikit banyak mengubah perilaku hubungan manusia dengan sesamanya, dimana sapaan hangat sudah jarang ditemui, digantikan tatapan dingin seperti dingin yang menyelimuti negeri mereka. Karena yang mereka pedulikan sekarang hanya uang,uang,dan uang.
Setelah dari Kazakhstan di utara , di bab keempat Agustinus menuju ke arah selatan untuk menjelajahi negara Uzbekistan. Seperti saudara-saudaranya yang lain, negeri ini baru merdeka 28 tahun lalu di tahun 1991. Uzbekistan memiliki kota-kota peninggalan jalur sutra yang pernah berjaya dimasanya, siapa yang tidak mengenal Bukhara dan Samarkand?, sebuah kota yang mendengar namanya saja membuat hati kita bergetar. Islam pernah mengakar kuat di negeri ini pada masa keemasan Bukhara dan Samarkand, saat ini masa keemasan itu seakan meredup setelah hampir 70 tahun berada di bawah rezim komunis Soviet. Karakter Islam di Uzbekistan banyak berubah, madrasah menjadi museum atau toko, masjid menjadi tempat wisata, dan pasangan muda-mudi asyik bergandengan tangan sambil menikmati keindahan arsitektur Islam. Hidup di Uzbekistan juga tidak lebih baik sejak jatuhnya Uni Soviet, rakyatnya masih banyak yang berada di lubang kemiskinan. Rasisme juga tengah melanda negeri ini, terutama terhadap keturunan etnis Rusia yang dianggap penjajah, sehingga mengakibatkan mereka sulit mendapat pekerjaan. Agustinus baru melihat ada bocah-bocah berambut pirang dan berkulit putih menjadi pengemis dan mengorek sampah yang dibuang oleh orang Uzbek.
Pada bab kelima, Agustinus akhirnya menginjakkan kaki di negeri yang terkenal paling tertutup dan terasing di Asia Tengah, Turkmenistan. Negeri ini dulunya dihuni oleh bangsa pengembara yang hidup di gurun-gurun Turkmen, setelah jatuhnya Uni Soviet di tahun 1991, negeri ini dipimpin oleh seorang dikatator bernama Saparmurat Niyazov yang memberi gelar kepada dirinya sendiri dengan sebutan "Turkmenbashi" (pemimpin orang Turkmen). Presiden ini dikenal akan pemerintahannya yang otoriter dan absurd, sebut saja dia pernah memerintahkan pembangunan monumen dan patung dengan segala bentuk dan pose dirinya, mengganti nama-nama hari dan bulan sesuka hatinya, contohnya bulan Januari dia ganti dengan Turkmenbashi-sama dengan gelar yang dia miliki, hingga membuat hari libur yang tidak pernah kita kenal sebelumnya, seperti hari melon dan hari karpet. Turkmenistan kerap menggembar-gemborkan negerinya yang kini sedang memasuki abad emas, hal ini bisa dilihat dari ibukotanya Ashgabat yang bertaburan gedung-gedung tinggi nan megah, namun saat kita keluar dari ibukota, baru terlihat wajah muram kemiskinan Turkmenistan yang ternyata tak seindah kemilau abad emas. Banyak orang yang menganggap Turkmenistan adalah kembaran Korea Utara di Asia Tengah karena sama-sama dipimpin oleh seorang diktator serta mengisolasi diri dari dunia luar.
Di bagian paling akhir, terdapat epilog berjudul "Kembali ke Seberang Sungai" yang menceritakan pengalaman Agustinus ketika dia kembali ke garis batas antara negeri Afghan dan Tajikistan. Agustinus berada di kota Ishkashim, sebuah kota di Afghanistan yang dekat dengan garis batas negara Tajikistan. Kota ini rutin menggelar pasar bersama antar kedua negara, sehingga penduduk kedua negeri bisa saling bertemu dan bertatap muka. Agustinus akhirnya bisa melihat bagaimana sudut pandang orang Afghan terhadap orang Tajik yang selama ini hanya berada di alam fantasi mereka, begitu juga sebaliknya.
# KELEBIHAN
Agustinus juga membuat kita merenungi bahwa manusia dalam hidupnya tak bisa lepas dari yang namanya garis batas, mulai dari lingkup kecil seperti garis batas gender, mental, dan sosial, hingga dalam lingkup besar seperti garis batas geografis, negara, dan bangsa.
Banyak pesan dalam buku ini yang relevan dengan keadaan Indonesia saat ini, karena seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan negara yang kaya akan garis batas dan keberagaman diantara manusia-manusianya. Superioritas akan suatu suku atau agama terhadap yang lain sering menyebabkan gesekan dan konflik di bumi pertiwi ini.
Pada akhirnya buku ini bukan sekadar buku travelling yang hanya menceritakan sisi baik dari suatu perjalanan, namun juga menceritakan sisi lain yang jarang kita dengar. Buku ini membuat kita berpikir dan merenungi kembali arti hidup menjadi manusia dengan segala garis batas yang melingkupi diri kita, juga membuat kita mengerti arti bersyukur dan bagaimana memperlakukan sesama manusia.
***
Berawal dari pengalamannya sebagai jurnalis di Afghanistan, Agustinus berpetualang ke berbagai pelosok negeri Afghan hingga dia sampai di garis batas antara Afghanistan dan Tajikistan. Di sana dia melihat bagaimana 2 negeri yang walau hanya terpisah oleh sebuah sungai, bisa mengalami kehidupan zaman yang berbeda 100 tahun.
Negeri apa yang ada di seberang sungai sana?, penduduk Afghan selalu memandang dengan penasaran negeri asing tetangga mereka yang hanya selebar sungai jauhnya. Mereka memandang sebuah negeri modern dimana mobil-mobil melaju di jalan aspal, sedangkan mereka sendiri tak pernah menikmati rasanya duduk di dalam mobil. Mereka memandang gadis-gadis dengan rambut bebas tergerai tertawa riang, sementara kaum perempuan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas berpergian. Alangkah indahnya negeri seberang, walau bagi mereka, semua itu hanyalah fantasi.
Fantasi yang sama membuat Agustinus bersemangat untuk menembus garis batas itu, garis batas yang memisahkan manusia-manusia yang tinggal didalamnya. Mendengarkan kisah dan tangis pilu mereka yang ternyata tak seindah fantasi.
# SAMPUL
Sampul bagian depan didominasi warna hitam dan dilengkapi sebuah foto bangunan yang Agustinus ambil ketika dia berada di Asia Tengah, tepatnya di Uzbekistan. Pada foto itu terdapat bangunan khas peninggalan jalur sutra yang terkenal akan kemegahan dan keindahannya, dilengkapi siluet seorang manusia.
Sampulnya sendiri seperti menggambarkan negeri apa yang selama ini ada di balik garis batas tersebut. Bangunan megah yang menggambarkan kegemilangan peradaban jalur sutra, tetapi dominasi warna hitam seperti menggambarkan negeri itu kini tak memiliki kisah dan kemilau seindah masa lalu. Siluet seorang manusia menggambarkan negeri-negeri itu kini berusaha mencari jati dirinya diantara gelap dan terang yang ada.
# ISI
Pada bagian awal, terdapat prolog yang merupakan gambaran awal buku, lalu buku ini terbagi dalam 5 bab yang mewakili jumlah negeri-negeri yang ada di Asia Tengah, Tajikistan, Kirgiztan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan yang terakhir Turkmenistan, masing-masing memiliki kisahnya tersendiri dengan segala pahit manisnya. Dan di akhir buku, terdapat epilog tentang manifestasi yang Agustinus dapat setelah dia menjelajahi Asia Tengah.
Pada bagian prolog terdapat tulisan dengan judul "Negeri Seberang Sungai" yang merupakan pikiran sang penulis tentang Amu Darya, sebuah sungai yang menjadi garis batas antara negeri Afghan dengan negeri-negeri di Asia Tengah. Dia mempertanyakan bagaimana sebuah sungai yang kelihatannya indah dan tenang ini bisa memisahkan nasib dan takdir manusia-manusia yang hidup di dalamnya.
Bab pertama menceritakan pengalaman Agustinus ketika dia berada di Tajikistan, negara yang baru merdeka tahun 1991 ini di huni oleh mayoritas etnis Tajik. Bahasa yang mereka gunakan masih berkerabat dekat dengan bahasa Persia/Farsi yang dipakai di Iran, bedanya bahasa Tajik ditulis menggunakan huruf Sirilik, sedangkan bahasa Persia/Farsi ditulis menggunakan huruf Arab. Negeri ini bisa dibilang tanah fantasi bagi orang Afghan di seberang garis batas sana, walaupun pada kenyataannya kehidupan di negeri ini juga tidak lebih baik. Sejak merdeka 28 tahun lalu , Tajikistan masih tertatih-tatih dalam membangun negaranya, rakyatnya masih banyak yang berada di garis kemiskinan, bahkan banyak dari mereka yang merindukan zaman Uni Soviet. Diceritakan di buku bahwa kata favorit penduduk di sana dalam menggambarkan hidupnya adalah qiyin dan bichara, yang berarti susah dan malang.
Di bab kedua, Agustinus berpetualang ke utara menuju negara tetangga Tajikistan, yaitu Kirgiztan. Negeri ini dihuni oleh mayoritas etnis Kirgiz yang dulunya merupakan kaum nomaden penghuni gunung-gunung di Asia Tengah sebelum akhirnya di rumahkan oleh penguasa Soviet. Sama halnya dengan Tajikistan, negara ini masih rapuh dalam hal membangun perekonomiannya. Agustinus pernah terdampar di Karakol, sebuah kota di Kirgiztan yang terkenal akan banyaknya pemabuk, penjahat dan penganggur, sehingga kota itu bagaikan kota hantu di malam hari karena tingginya tingkat kriminalitas. Pertikaian antar etnis juga sering terjadi di Kirgiztan, seperti yang terjadi di kota Osh pada tahun 1990 antara etnis Kirgiz dan Uzbek. Pertikaian yang terjadi sering dikarenakan adanya rasa cemburu dan iri di antara etnis-etnis yang ada, terutama ketika etnis yang satu mendapat keistimewaan dibanding etnis yang lain.
Berlanjut di bab ketiga, Agustinus melanjutkan perjalanannya sampai ke Kazakhstan. Tidak seperti negara tetangganya yang dilanda krisis ekonomi, negeri ini dibanjiri kemewahan dan kemakmuran karena kekayaan minyak dan gas alamnya. Walaupun berlimpah kekayaan, hal ini tidak serta merta dimiliki oleh semua penduduknya, hanya kaum borjuis yang bisa menikmati kekayaan tersebut. Hal ini mengakibatkan jurang yang sangat besar antara si kaya dan si miskin di Kazakhstan. Selain itu, derasnya arus modernitas yang menghampiri negeri kaum nomaden ini mengakibatkan negeri ini dilanda krisis identitas, terutama dikalangan anak mudanya. Pengaruh Rusia sangat kental di negeri ini sehingga banyak orang Kazakh yang justru bangga bisa bertingkah seperti orang Rusia dan berbahasa Rusia daripada melestarikan budaya mereka sendiri. Kekayaan Kazakhstan itu sedikit banyak mengubah perilaku hubungan manusia dengan sesamanya, dimana sapaan hangat sudah jarang ditemui, digantikan tatapan dingin seperti dingin yang menyelimuti negeri mereka. Karena yang mereka pedulikan sekarang hanya uang,uang,dan uang.
Setelah dari Kazakhstan di utara , di bab keempat Agustinus menuju ke arah selatan untuk menjelajahi negara Uzbekistan. Seperti saudara-saudaranya yang lain, negeri ini baru merdeka 28 tahun lalu di tahun 1991. Uzbekistan memiliki kota-kota peninggalan jalur sutra yang pernah berjaya dimasanya, siapa yang tidak mengenal Bukhara dan Samarkand?, sebuah kota yang mendengar namanya saja membuat hati kita bergetar. Islam pernah mengakar kuat di negeri ini pada masa keemasan Bukhara dan Samarkand, saat ini masa keemasan itu seakan meredup setelah hampir 70 tahun berada di bawah rezim komunis Soviet. Karakter Islam di Uzbekistan banyak berubah, madrasah menjadi museum atau toko, masjid menjadi tempat wisata, dan pasangan muda-mudi asyik bergandengan tangan sambil menikmati keindahan arsitektur Islam. Hidup di Uzbekistan juga tidak lebih baik sejak jatuhnya Uni Soviet, rakyatnya masih banyak yang berada di lubang kemiskinan. Rasisme juga tengah melanda negeri ini, terutama terhadap keturunan etnis Rusia yang dianggap penjajah, sehingga mengakibatkan mereka sulit mendapat pekerjaan. Agustinus baru melihat ada bocah-bocah berambut pirang dan berkulit putih menjadi pengemis dan mengorek sampah yang dibuang oleh orang Uzbek.
Pada bab kelima, Agustinus akhirnya menginjakkan kaki di negeri yang terkenal paling tertutup dan terasing di Asia Tengah, Turkmenistan. Negeri ini dulunya dihuni oleh bangsa pengembara yang hidup di gurun-gurun Turkmen, setelah jatuhnya Uni Soviet di tahun 1991, negeri ini dipimpin oleh seorang dikatator bernama Saparmurat Niyazov yang memberi gelar kepada dirinya sendiri dengan sebutan "Turkmenbashi" (pemimpin orang Turkmen). Presiden ini dikenal akan pemerintahannya yang otoriter dan absurd, sebut saja dia pernah memerintahkan pembangunan monumen dan patung dengan segala bentuk dan pose dirinya, mengganti nama-nama hari dan bulan sesuka hatinya, contohnya bulan Januari dia ganti dengan Turkmenbashi-sama dengan gelar yang dia miliki, hingga membuat hari libur yang tidak pernah kita kenal sebelumnya, seperti hari melon dan hari karpet. Turkmenistan kerap menggembar-gemborkan negerinya yang kini sedang memasuki abad emas, hal ini bisa dilihat dari ibukotanya Ashgabat yang bertaburan gedung-gedung tinggi nan megah, namun saat kita keluar dari ibukota, baru terlihat wajah muram kemiskinan Turkmenistan yang ternyata tak seindah kemilau abad emas. Banyak orang yang menganggap Turkmenistan adalah kembaran Korea Utara di Asia Tengah karena sama-sama dipimpin oleh seorang diktator serta mengisolasi diri dari dunia luar.
Di bagian paling akhir, terdapat epilog berjudul "Kembali ke Seberang Sungai" yang menceritakan pengalaman Agustinus ketika dia kembali ke garis batas antara negeri Afghan dan Tajikistan. Agustinus berada di kota Ishkashim, sebuah kota di Afghanistan yang dekat dengan garis batas negara Tajikistan. Kota ini rutin menggelar pasar bersama antar kedua negara, sehingga penduduk kedua negeri bisa saling bertemu dan bertatap muka. Agustinus akhirnya bisa melihat bagaimana sudut pandang orang Afghan terhadap orang Tajik yang selama ini hanya berada di alam fantasi mereka, begitu juga sebaliknya.
# KELEBIHAN
- Di dalam buku terdapat banyak foto-foto yang Agustinus ambil ketika dia menjelajahi Asia Tengah, sehingga pembaca serasa ikut bepetualang dan merasakan bagaimana kehidupan di sana.
- Selain bercerita tentang pengalamannya selama berada di Asia Tengah, Agustinus juga menyelipkan pengalaman hidupnya yang relevan dengan masalah-masalah yang dia ditemui di sana, Sehingga dapat kita simpulkan walaupun terpisah jarak yang cukup jauh, persoalan yang ada disana juga sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
- Di dalam buku, Agustinus sering menyisipkan kilas balik atau pengalaman yang pernah dia lalui di tengah cerita,sehingga terkadang membuat bingung atau membuat tulisan seperti tidak berhubungan.
# KESIMPULAN
Agustinus seakan membawa kita menyelami bagaimana kehidupan manusia-manusia yang ada di negeri-negeri Asia Tengah, mendengarkan cerita mereka, hingga ikut merasakan susahnya mereka ketika menjalani kehidupan yang ternyata tak seindah romantisme negeri jalur sutra.
Agustinus seakan membawa kita menyelami bagaimana kehidupan manusia-manusia yang ada di negeri-negeri Asia Tengah, mendengarkan cerita mereka, hingga ikut merasakan susahnya mereka ketika menjalani kehidupan yang ternyata tak seindah romantisme negeri jalur sutra.
Agustinus juga membuat kita merenungi bahwa manusia dalam hidupnya tak bisa lepas dari yang namanya garis batas, mulai dari lingkup kecil seperti garis batas gender, mental, dan sosial, hingga dalam lingkup besar seperti garis batas geografis, negara, dan bangsa.
Banyak pesan dalam buku ini yang relevan dengan keadaan Indonesia saat ini, karena seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan negara yang kaya akan garis batas dan keberagaman diantara manusia-manusianya. Superioritas akan suatu suku atau agama terhadap yang lain sering menyebabkan gesekan dan konflik di bumi pertiwi ini.
Pada akhirnya buku ini bukan sekadar buku travelling yang hanya menceritakan sisi baik dari suatu perjalanan, namun juga menceritakan sisi lain yang jarang kita dengar. Buku ini membuat kita berpikir dan merenungi kembali arti hidup menjadi manusia dengan segala garis batas yang melingkupi diri kita, juga membuat kita mengerti arti bersyukur dan bagaimana memperlakukan sesama manusia.
***
Comments
Post a Comment